Oct 29, 2012

Tiga Gerakan Moral di Kabupaten Sumba Tengah


Sumba Tengah sebagai kabupaten yang tergolong masih muda memiliki visi yang jelas: “Bersama rakyat membangun Sumba Tengah yang Maju, Mandiri, Sejahtera, dan Berkeadilan”. Visi ini bukan hanya merupakan mimpi dari pemimpin daerah, namun merupakan mimpi dari puluhan ribu penduduk Sumba Tengah. Visi atau mimpi bukanlah hal yang sederhana. Visi tidak dapat dicapai dalam hitungan hari, pun dengan cara yang mudah. Visi akan tetap berada di dunia abstrak apabila tidak ada langkah nyata yang diupayakan untuk mencapainya. Karena visi Sumba Tengah merupakan mimpi bersama, upaya pencapaian mimpi ini tidak akan tercapai tanpa partisipasi dari seluruh komponen masyarakat. Hal ini tampak jelas dari visi Sumba Tengah yang diawali dengan kalimat “bersama rakyat”.

Pemerintah Kabupaten Sumba Tengah bekerja sama dengan Fakultas Hukum (FH) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) telah menghasilkan sebuah Dokumen/Naskah Akademik yang berjudul Tiga Gerakan Moral (Perspektif Historis, Filosofis, Yuridis dan Sosiologis). Penyusunan Dokumen/Naskah Akademik dilaksanakan oleh tim dari FH UKSW yang terdiri dari empat orang dosen, dan diketuai oleh putra daerah Sumba Tengah yaitu Umbu Rauta, SH., M.Hum. Dokumen/Naskah Akademik ini bertujuan untuk memberikan dasar pembenar (justifikasi) terhadap Tiga Gerakan Moral yang tidak lain adalah komitmen bersama masyarakat Sumba Tengah sekaligus merupakan salah satu sarana pencapaian visi Sumba Tengah.

 “Tak ada gading yang tak retak”, tak ada satupun hal di dunia ini yang sempurna, begitupula dengan Sumba Tengah. Dalam upaya untuk merealisasikan mimpinya, Sumba Tengah memiliki masalah dan tantangan yang tidak sedikit. Salah satu masalah yang dianggap sebagai masalah utama terkait dengan karakter sumber daya manusia (SDM) yang berkenaan dengan karakter dan kebiasaan masyarakat yang belum sepenuhnya mengarah pada perbaikan kehidupan.

Umbu Rauta dkk menggunakan istilah hiperealitas ritual (hypereality of ritual) dalam menggambarkan karakter masyarakat Sumba Tengah dalam melakukan ritual adat. Yang dimaksud dengan hiperealitas ritual adalah realitas ritual yang melampaui hakekat ritual adat itu sendiri. Salah satu contoh nyata dari kecenderungan tersebut adalah dalam hal jumlah ‘belis’. ‘Belis’ sebenarnya merupakan sarana simbolik bagi hubungan kemanusiaan yang terbentuk melalui perkawinan. Jumlah belis berkisar antara 11 hingga 17 ekor ternak. Sayangnya saat ini jumlah ‘belis’ dianggap sebagai gambaran status sosial sehingga masyarakat  merasa “berkewajiban” untuk menuntut dan memberikan ‘belis’ dalam jumlah yang besar. Hiperealitas ritual seperti ini akan menjadikan adat sebagai alat yang memiskinkan masyarakat secara sistemik. Pola hidup masyarakat yang seperti inilah yang merupakan salah satu masalah SDM yang sedang berlangsung di Sumba Tengah.

Karakter SDM yang menjadi masalah juga tampak dari fakta bahwa sebagian besar masyarakat Sumba Tengah yang adalah petani cenderung menganggap bahwa pengolahan ladang sebagai pekerjaan sambilan. Masyarakat lebih memilih untuk mengolah sawah tadah hujan daripada mengolah kebun. Hal ini menyebabkan banyak lahan kering yang sebenarnya berpotensi untuk diolah menjadi terabaikan. Pengolahan lahan kering juga sebenarnya dapat dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan kedaulatan pangan (food sovereignity) serta meningkatkan pendapatan masyarakat, yang pada akhirnya dapat mengatasi masalah kemiskinan. Sayangnya masyarakat lebih memilih untuk memprioritaskan pengolahan sawah tadah hujan dan cenderung mengabaikan pengolahan lahan kering.

Maraknya pencurian dan perampokan di Sumba Tengah sangat berdampak pada terkikisnya rasa aman masyarakat. Pencurian hewan ternak secara khusus, menghasilkan dua masalah sekaligus, yaitu: pemiskinan secara cepat terhadap pemilik ternak dan surutnya minat masyarakat untuk beternak. Kebiasaan mencuri dan merampok selain merupakan tindakan kriminal, juga menunjukkan bahwa budaya malas (bekerja) masih melekat di tubuh masyarakat.

Tiga Gerakan Moral lahir sebagai jawaban atas masalah-masalah di atas, dengan basis filosofis, sosiologis, dan basis yuridis formal yang jelas, serta dimaknai sebagai hukum adat oleh masyarakat. Tiga Gerakan Moral yang terdiri dari (1) Gerakan Kembali ke Kebun, (2) Gerakan Hidup Hemat, dan (3) Gerakan Desa Aman, sama sekali tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia, bahkan didukung oleh berbagai undang-undang yang berlaku di Indonesia. Atas dasar kesepakatan bersama Pemerintah Kecamatan, Pemerintah Desa, dan Lembaga Adat di Tingkat kecamatan, substansi dari masing-masing Tiga Gerakan Moral disusun lengkap dengan sanksi adatnya. Lembaga Adat sendiri terdiri dari tokoh-tokoh adat di setiap kecamatan yang dipilih untuk mengawasi pelaksanaan Tiga Gerakan Moral bersama-sama dengan pemerintah daerah.

Pelanggaran terhadap Tiga Gerakan Moral akan dikenakan sanksi. Tidak hanya sanksi adat yang telah disepakati di masing-masing kecamatan, tetapi juga sanksi hukum formal. Hal yang perlu diperhatikan adalah apabila terjadi dualisme sanksi terhadap suatu pelanggaran.

Karena berasal dari masyarakat, pelaksanaan Tiga Gerakan Moral sangat ditentukan oleh peran serta masyarakat. Namun demikian, teladan bagi masyarakat oleh para pemimpin daerah tentu akan meningkatkan kesadaran dan kesediaan masyarakat untuk melaksanakan Tiga Gerakan Moral ini.

Tiga Gerakan Moral merupakan solusi yang disepakati bersama untuk mengatasi persoalan yang tengah terjadi dalam masyarakat Sumba Tengah. Solusi muncul karena adanya masalah, sebagai upaya mengatasi masalah. Oleh karenanya Tiga Gerakan Moral yang adalah solusi terhadap masalah di Sumba Tengah bukanlah suatu langkah maju untuk mencapai visi Sumba Tengah.

Jika Tiga Gerakan Moral dilaksanakan oleh masyarakat, apakah masyarakat pada akhirnya akan menjadi masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur? Kecuali jika konsep sejahtera dan makmur dipahami sebagai hilangnya kemiskinan dan tindakan pencurian maka tepatlah Tiga Gerakan Moral sebagai upaya nyata merealisasikannya.

Untuk dapat mencapai sejahtera, terlebih dahulu masalah-masalah yang sudah ada di dalam masyarakat diselesaikan. Setelah itu dibutuhkan langkah lebih lanjut untuk dapat mencapai kesejahteraan tersebut. Mengatasi masalah yang ada saja tidak cukup, langkah-langkah nyata setelah penyelesaian masalah sangat dibutuhkan agar dapat mencapai kesejahteraan masyarakat.

Oct 19, 2012

Lateral Marketing

Dalam mata kuliah manajemen pemasaran, kami dikenalkan pada konsep Lateral Marketing (LM) oleh Prof. JOI. Bahwa saat ini yang dibutuhkan adalah LM, bukan lagi Vertical Marketing (VM) yang merupakan ciri pemasaran tradisional. VM merupakan marketing yang menyebabkan pasar terfragmentasi sehingga pasar biasanya dikuasai oleh pioneer di pasar tersebut. Misalnya Aqua sebagai pioneer di pasar air minum kemasan. Alhasil para pesaing yang akan masuk ke dalam pasar air minum kemasan hanya akan mendapatkan pasar 'sisa' yang kecil-kecil. Lateral Marketing merupakan upaya untuk melawan fragmentasi pasar yang merugikan ini, yaitu dengan menciptakan pasar yang baru.

Menciptakan suatu produk atau jasa yang baru merupakan inti dari LM. Namun demikian untuk menciptakan produk atau jasa yang baru, sebelumnya perlu ditentukan produk atau jasa apa yang akan dipasarkan, kemudian produk itulah yang menjadi dasar dalam menciptakan produk baru. Ada 6 tekhnik yang dapat digunakan untuk menerapkan LM. Substitusi, mengeluarkan satu atau beberapa elemen dari produk kemudian mengubahnya; Kombinasi, yaitu menambahkan elemen pada produk, sedangkan elemen-elemen lain dibiarkan tetap; Inversi, yaitu mengatakan yang berlawanan atau menambahkan 'tidak' pada sebuah elemen dari produk; Eliminasi, yaitu menghilangkan sebuah elemn produk; Exaggeration (meng-exxagerate satu atau beberapa elemen); dan Reordering, yaitu mengubah susunan elemen dari produk.kas

Berikut ini beberapa contoh penerapan LM. Rokok rasa strawberry atau cokelat untuk menciptakan kesan feminin pada perokok. Dalam kasus ini yang menjadi target pasar adalah para perokok wanita. Contoh lain adalah sebuah jam tangan yang tdak hanya sebagai penunjuk waktu namun sekaligus dapat digunakan sebagai kalkulator.