Feb 9, 2012

lesson from mama


Mama adalah seorang Kristen yang imannya pada Tuhan tidak pernah saya ragukan sedikitpun. Beliau adalah satu wanita terkuat yang saya kenal. Dalam seminggu beliau dengan seorang ibu tua yang biasa kami sapa Oma Ros meluangkan waktu dua atau tiga hari untuk berdoa bersama di kamar mama. Setiap dilanda suatu hal yang buruk, beliau selalu mengatakan pada saya ‘saya tidak pernah khawatir karena saya yakin Tuhan beserta saya’.

Namun belakangan ini ada suatu kecenderungan yang sedikit mengganggu saya dari mama. Dalam situasi yang kurang baik bahkan buruk, seperti biasa beliau akan menyatakan imannya pada Tuhan tanpa gentar sedikitpun. Namun setelah pernyataan itu ada penjelasan lanjutan yang menurut pandangan saya, seolah-olah menyalahkan orang lain atas keadaan tersebut. Sepertinya mama masih sangat percaya pada jampi-jampi dan sejenisnya yang oleh orang NTT, kami sebut ‘obat’. Jadi misalnya mama sakit, beliau mulai mengaitkannya dengan hal-hal yang terjadi pada keluarga kami kemudian menyatakan bahwa ada orang yang tidak suka akan hal tersebut lalu ‘menjampi-jampi’ mama. Lalu sekali lagi menyatakan bahwa beliau tidak sedikitpun gentar akan jampi-jampi atau ‘obat’ itu, karena iblis akan dikalahkan oleh Tuhan. Saya melihat adanya kecenderungan untuk melihat suatu keadaan kurang baik sebagai hasil perbuatan orang lain.

Dua hal utama yang mendasari saya pada akhirnya menyatakan pendapat saya yang berbeda pada mama. Yang pertama, suatu hal buruk yang terjadi pada kita, sebaiknya kita lihat sebagai akibat rasional dari tindakan kita sebelumnya. Dengan kata lain, alangkah baiknya jika kita mengoreksi lebih dahulu apa yang kita lakukan sebelum suatu hal buruk kemudian menarik suatu benang logis yang menghubungkannya. Untuk hal-hal baik yang terjadi pada diri kita sendiri hampir selalu kita mengklaim diri kita sebagai sebab dari hal baik tersebut, kenapa untuk hal yang buruk kita tidak sempat untuk berpikir demikian (terlebih dahulu)? Dasar yang kedua adalah: ‘tidakkah kita menambah dosa kita dengan menduga-duga orang lain sebagai sebab dari kesusahan yang kita alami?’ Terlepas dari apakah pada akhirnya dugaan itu terbukti benar atau salah, menduga orang lain bersalah atas kesusahan kita secara tidak langsung menanamkan hal negatif dari orang tersebut di dalam otak kita. Prasangka negatif terhadap seseorang menurut saya akan mempengaruhi sikap kita terhadap orang tersebut yang akan cenderung tidak tulus.

Entah seperti apa besok dan seterusnya ketika kesusahan datang setelah perbincangan saya dengan mama, saya berharap mama, saya, dan kita semua tidak serta-merta mengklaim orang lain sebagai sebab. Mama menjadi pengingat bagi saya sendiri bahwa memang lebih mudah untuk menyalahkan orang lain atas suatu hal buruk. Tapi bukan berarti saya menyalahkan mama atas kebiasaan mama ini. Beliau hanya belum menyadari bahwa hal tersebut keliru, seperti juga saya sebelumnya. Kita diperintah Tuhan supaya ‘menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus’ (Filipi 2:5). Saya tidak berpikir Yesus menyalahkan orang lain atas hal-hal yang terjadi pada diriNya, bahkan pada saat Ia disalibkan. Saya teringat istilah WWJD (What Would Jesus Do), lalu berpikir jika saya ‘menjadi’ Yesus, menghadapi kesusahan tentu saya tidak akan serta merta menyalahkan orang lain atas kesusahan tersebut. Mari berefleksi, mari mengoreksi diri, mari belajar.. :)

No comments:

Post a Comment