Feb 13, 2012

Chauvinisme Religius

Menemani saya di masa-masa penangguran tak jelas ini, buku-buku rohani mama adalah yang paling setia. Sungguh saya membenarkan kutipan berikut: " The more you know, the more you realise how much you don't know - the less you know, the more you think you know." Lewat buku-buku luar biasa ini saya disadarkan bahwa ada begitu banyak hal yang tidak saya ketahui selama ini, dan di sisi lain juga sering saya merasa sangat tahu tentang banyak hal tersebut. Thanks to mama dan buku-buku luar biasa ini, sungguh saya bersyukur.

Bab 10 dari Buku berjudul Selamat Berkarunia karya Andar Iskandar membahas mengenai Chauvinisme Religius. Bab ini menggambarkan bagaimana sikap fanatik sejak dahulupun sudah ada. Bahkan ketika Yesus mengajarkan mengenai kemajemukan, oleh kaumNya sendiri orang-orang Nazaret, Ia hampir dilemparkan ke tebing. Apa yang selama ini tertanam di otak saya bahwa memahami dan menerima perbedaan masih merupakan hal yang sulit bagi kebanyakan orang, semakin dikuatkan. Chauvinisme religius adalah konsep yang menjelaskan bagaimana tidak menerima adanya perbedaan dalam hal agama atau kepercayaan khususnya, melekat sangat kuat pada orang-orang Nazaret di jaman Yesus dan tidak terelakkan juga di jaman sekarang. Andar Ismail menyimpulkan sikap Chavinisme Religius tersebut demikian: "Allah merestui agamaku, bukan agamamu! Agamaku benar, agamamu salah! Agamaku berhak ada, agamamu tidak!"

Sejujurnya menurut saya keadaan seperti ini menyedihkan. Menyedihkan bahwa orang-orang yang mengaku beragama, yang dikasihi dengan luar biasa oleh Tuhan pilah pilih dalam mengasihi. Tuhan tidak pernah menyatakan bahwa Ia hanya mengasihi orang Israel dan membenci orang Samaria; pun tidak Ia katakan bahwa Ia memberkati orang Kristen dan menomorduakan orang Hindu; orang-orang yang setiap hari Minggu ke gereja maupun yang tak pernah masuk gereja memperoleh kasih yang sama besar dariNya. Lalu kenapa kita yang begitu dikasihiNya begitu pelit untuk membagikan kasih cuma-cuma itu bagi orang lain?

Beberapa minggu yang lalu saya dengan seorang saudara saya berbincang-bincang mengenai Angelina Sondakh. Ketika itu (dan hingga saat ini) kasus Angelina Sondakh yang telah dijadikan tersangka kasus korupsi banyak dibahas di berbagai media. Saudara saya mengatakan demikian: "Sonde (tidak) apa-apa, itu pelajaran bagi Angelina Sondakh karena dia telah meninggalkan Yesus". Yang dimaksud dengan meninggalkan Yesus adalah berpindah agama. Kala itu kami perbincangan kami penuh canda tawa, karena saudara saya yang satu ini memang pandai dalam bergaul dan tak pernah kehabisan bahan obrolan. Tambahan: saudara saya ini sangat cantik, bahkan wanita keturunan Sumba yang tercantik yang pernah saya kenal. Kesalahan saya saat itu adalah tidak memberikan tanggapan sekaligus pemahaman saya mengenai kemajemukan, bahwa Yesus tidak sedang memberikan pelajaran pada Angelina Sondakh karena telah berpindah agama. Tampaknya akan sangat panjang dan mengarahkan obrolan dari yang ringan menjadi cukup serius.

Untuk itu dalam tulisan ini akan saya jelaskan pendapat yang tak tersampaikan saat itu, bahwa kasih Tuhan tidak berubah pada setiap manusia. Tuhan sendiri menyatakan hukum kasih yang terutama adalah mengasihi Tuhan, dan mengasihi sesama. Bahkan Ia memerintahkan kita untuk mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Jangan lupa, ini hukum yang pertama dan yang terutama: kasih. Mengasihi sesama seperti mengasihi diri kita sendiri seringkali kita serap secara setengah-setengah. Kita mengasihi orang tua kita, mengasihi saudara kita, teman-teman kita, tapi tidak musuh kita. Kita mengasihi orang-orang sesuku, sehingga ketika terjadi perselisihan antara seorang kerabat sesuku dengan orang dari suku lain maka dengan segera kita akan membela kerabat kita atas nama kasih. Kita mengasihi sesama kita yang seagama, maka orang-orang dari agama lain adalah orang-orang yang tidak layak dikasihi, bahkan seharusnya dimusuhi. Seperti inikah kasih kita kepada sesama? Mari belajar terbuka, belajar memahami kemajemukan, menerima adanya perbedaa, karena pada dasarnya Tuhan menciptakan setiap orang secara berbeda, tidak ada satu orang pun yang sama persisnya. Tergantung kita sejauh mana kita mau menerima perbedaan itu. Apabila kita memutuskan untuk menetapkan toleransi perbedaan dengan rendah maka akan sulit bagi kita untuk bersosialisasi. Contohnya dalam hal umur, perbedaan yang umum: kita memilih untuk bergaul dan meluangkan banyak waktu untuk berbincang-bincang, bersosialisasi dengan teman-teman sebaya kita (misalnya teman sekolah dan teman kuliah), namun kemudian bersungut-sungut ketika berada di antara sekumpulan orang tua dalam sebuah acara. Begitupun di kalangan orang tua, seringkali anak-anak dianggap tidak tahu apa-apa sehingga ketika berpendapat lebih sering pendapat tersebut tidak ditanggapi secara serius walaupun didengarkan. Kemudian, pada pihak manakah kasih Tuhan lebih tercurah? kepada orang yang lebih tua ataukah pada orang yang lebih muda? Nah kembali ke Angelina Sondakh, hal yang sama saya yakini berlaku baginya. Berpindah agama tidak membuat kasih Tuhan berkurang padanya. Tuhan itu satu, hanya saja cara kita dalam menyembahNya yang berbeda.

Yang saya herankan adalah apa salahnya berbeda? Berbeda sama sekali tidak mengganggu saya. Andai ada sejuta orang dengan kepercayaannya masing-masing lalu apa salahnya? Sungguh saya tak dapat menemukan apa salah dari kemajemukan? Bukankah lebih indah jika dalam satu taman terdapat bunga dengan beragam warna dibandingkan satu warna saja?

No comments:

Post a Comment