Oct 29, 2012

Tiga Gerakan Moral di Kabupaten Sumba Tengah


Sumba Tengah sebagai kabupaten yang tergolong masih muda memiliki visi yang jelas: “Bersama rakyat membangun Sumba Tengah yang Maju, Mandiri, Sejahtera, dan Berkeadilan”. Visi ini bukan hanya merupakan mimpi dari pemimpin daerah, namun merupakan mimpi dari puluhan ribu penduduk Sumba Tengah. Visi atau mimpi bukanlah hal yang sederhana. Visi tidak dapat dicapai dalam hitungan hari, pun dengan cara yang mudah. Visi akan tetap berada di dunia abstrak apabila tidak ada langkah nyata yang diupayakan untuk mencapainya. Karena visi Sumba Tengah merupakan mimpi bersama, upaya pencapaian mimpi ini tidak akan tercapai tanpa partisipasi dari seluruh komponen masyarakat. Hal ini tampak jelas dari visi Sumba Tengah yang diawali dengan kalimat “bersama rakyat”.

Pemerintah Kabupaten Sumba Tengah bekerja sama dengan Fakultas Hukum (FH) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) telah menghasilkan sebuah Dokumen/Naskah Akademik yang berjudul Tiga Gerakan Moral (Perspektif Historis, Filosofis, Yuridis dan Sosiologis). Penyusunan Dokumen/Naskah Akademik dilaksanakan oleh tim dari FH UKSW yang terdiri dari empat orang dosen, dan diketuai oleh putra daerah Sumba Tengah yaitu Umbu Rauta, SH., M.Hum. Dokumen/Naskah Akademik ini bertujuan untuk memberikan dasar pembenar (justifikasi) terhadap Tiga Gerakan Moral yang tidak lain adalah komitmen bersama masyarakat Sumba Tengah sekaligus merupakan salah satu sarana pencapaian visi Sumba Tengah.

 “Tak ada gading yang tak retak”, tak ada satupun hal di dunia ini yang sempurna, begitupula dengan Sumba Tengah. Dalam upaya untuk merealisasikan mimpinya, Sumba Tengah memiliki masalah dan tantangan yang tidak sedikit. Salah satu masalah yang dianggap sebagai masalah utama terkait dengan karakter sumber daya manusia (SDM) yang berkenaan dengan karakter dan kebiasaan masyarakat yang belum sepenuhnya mengarah pada perbaikan kehidupan.

Umbu Rauta dkk menggunakan istilah hiperealitas ritual (hypereality of ritual) dalam menggambarkan karakter masyarakat Sumba Tengah dalam melakukan ritual adat. Yang dimaksud dengan hiperealitas ritual adalah realitas ritual yang melampaui hakekat ritual adat itu sendiri. Salah satu contoh nyata dari kecenderungan tersebut adalah dalam hal jumlah ‘belis’. ‘Belis’ sebenarnya merupakan sarana simbolik bagi hubungan kemanusiaan yang terbentuk melalui perkawinan. Jumlah belis berkisar antara 11 hingga 17 ekor ternak. Sayangnya saat ini jumlah ‘belis’ dianggap sebagai gambaran status sosial sehingga masyarakat  merasa “berkewajiban” untuk menuntut dan memberikan ‘belis’ dalam jumlah yang besar. Hiperealitas ritual seperti ini akan menjadikan adat sebagai alat yang memiskinkan masyarakat secara sistemik. Pola hidup masyarakat yang seperti inilah yang merupakan salah satu masalah SDM yang sedang berlangsung di Sumba Tengah.

Karakter SDM yang menjadi masalah juga tampak dari fakta bahwa sebagian besar masyarakat Sumba Tengah yang adalah petani cenderung menganggap bahwa pengolahan ladang sebagai pekerjaan sambilan. Masyarakat lebih memilih untuk mengolah sawah tadah hujan daripada mengolah kebun. Hal ini menyebabkan banyak lahan kering yang sebenarnya berpotensi untuk diolah menjadi terabaikan. Pengolahan lahan kering juga sebenarnya dapat dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan kedaulatan pangan (food sovereignity) serta meningkatkan pendapatan masyarakat, yang pada akhirnya dapat mengatasi masalah kemiskinan. Sayangnya masyarakat lebih memilih untuk memprioritaskan pengolahan sawah tadah hujan dan cenderung mengabaikan pengolahan lahan kering.

Maraknya pencurian dan perampokan di Sumba Tengah sangat berdampak pada terkikisnya rasa aman masyarakat. Pencurian hewan ternak secara khusus, menghasilkan dua masalah sekaligus, yaitu: pemiskinan secara cepat terhadap pemilik ternak dan surutnya minat masyarakat untuk beternak. Kebiasaan mencuri dan merampok selain merupakan tindakan kriminal, juga menunjukkan bahwa budaya malas (bekerja) masih melekat di tubuh masyarakat.

Tiga Gerakan Moral lahir sebagai jawaban atas masalah-masalah di atas, dengan basis filosofis, sosiologis, dan basis yuridis formal yang jelas, serta dimaknai sebagai hukum adat oleh masyarakat. Tiga Gerakan Moral yang terdiri dari (1) Gerakan Kembali ke Kebun, (2) Gerakan Hidup Hemat, dan (3) Gerakan Desa Aman, sama sekali tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia, bahkan didukung oleh berbagai undang-undang yang berlaku di Indonesia. Atas dasar kesepakatan bersama Pemerintah Kecamatan, Pemerintah Desa, dan Lembaga Adat di Tingkat kecamatan, substansi dari masing-masing Tiga Gerakan Moral disusun lengkap dengan sanksi adatnya. Lembaga Adat sendiri terdiri dari tokoh-tokoh adat di setiap kecamatan yang dipilih untuk mengawasi pelaksanaan Tiga Gerakan Moral bersama-sama dengan pemerintah daerah.

Pelanggaran terhadap Tiga Gerakan Moral akan dikenakan sanksi. Tidak hanya sanksi adat yang telah disepakati di masing-masing kecamatan, tetapi juga sanksi hukum formal. Hal yang perlu diperhatikan adalah apabila terjadi dualisme sanksi terhadap suatu pelanggaran.

Karena berasal dari masyarakat, pelaksanaan Tiga Gerakan Moral sangat ditentukan oleh peran serta masyarakat. Namun demikian, teladan bagi masyarakat oleh para pemimpin daerah tentu akan meningkatkan kesadaran dan kesediaan masyarakat untuk melaksanakan Tiga Gerakan Moral ini.

Tiga Gerakan Moral merupakan solusi yang disepakati bersama untuk mengatasi persoalan yang tengah terjadi dalam masyarakat Sumba Tengah. Solusi muncul karena adanya masalah, sebagai upaya mengatasi masalah. Oleh karenanya Tiga Gerakan Moral yang adalah solusi terhadap masalah di Sumba Tengah bukanlah suatu langkah maju untuk mencapai visi Sumba Tengah.

Jika Tiga Gerakan Moral dilaksanakan oleh masyarakat, apakah masyarakat pada akhirnya akan menjadi masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur? Kecuali jika konsep sejahtera dan makmur dipahami sebagai hilangnya kemiskinan dan tindakan pencurian maka tepatlah Tiga Gerakan Moral sebagai upaya nyata merealisasikannya.

Untuk dapat mencapai sejahtera, terlebih dahulu masalah-masalah yang sudah ada di dalam masyarakat diselesaikan. Setelah itu dibutuhkan langkah lebih lanjut untuk dapat mencapai kesejahteraan tersebut. Mengatasi masalah yang ada saja tidak cukup, langkah-langkah nyata setelah penyelesaian masalah sangat dibutuhkan agar dapat mencapai kesejahteraan masyarakat.

Oct 19, 2012

Lateral Marketing

Dalam mata kuliah manajemen pemasaran, kami dikenalkan pada konsep Lateral Marketing (LM) oleh Prof. JOI. Bahwa saat ini yang dibutuhkan adalah LM, bukan lagi Vertical Marketing (VM) yang merupakan ciri pemasaran tradisional. VM merupakan marketing yang menyebabkan pasar terfragmentasi sehingga pasar biasanya dikuasai oleh pioneer di pasar tersebut. Misalnya Aqua sebagai pioneer di pasar air minum kemasan. Alhasil para pesaing yang akan masuk ke dalam pasar air minum kemasan hanya akan mendapatkan pasar 'sisa' yang kecil-kecil. Lateral Marketing merupakan upaya untuk melawan fragmentasi pasar yang merugikan ini, yaitu dengan menciptakan pasar yang baru.

Menciptakan suatu produk atau jasa yang baru merupakan inti dari LM. Namun demikian untuk menciptakan produk atau jasa yang baru, sebelumnya perlu ditentukan produk atau jasa apa yang akan dipasarkan, kemudian produk itulah yang menjadi dasar dalam menciptakan produk baru. Ada 6 tekhnik yang dapat digunakan untuk menerapkan LM. Substitusi, mengeluarkan satu atau beberapa elemen dari produk kemudian mengubahnya; Kombinasi, yaitu menambahkan elemen pada produk, sedangkan elemen-elemen lain dibiarkan tetap; Inversi, yaitu mengatakan yang berlawanan atau menambahkan 'tidak' pada sebuah elemen dari produk; Eliminasi, yaitu menghilangkan sebuah elemn produk; Exaggeration (meng-exxagerate satu atau beberapa elemen); dan Reordering, yaitu mengubah susunan elemen dari produk.kas

Berikut ini beberapa contoh penerapan LM. Rokok rasa strawberry atau cokelat untuk menciptakan kesan feminin pada perokok. Dalam kasus ini yang menjadi target pasar adalah para perokok wanita. Contoh lain adalah sebuah jam tangan yang tdak hanya sebagai penunjuk waktu namun sekaligus dapat digunakan sebagai kalkulator.

Mar 6, 2012

Kritikan kadang Tidak Perlu

Mengkritisi saja kadang tidak cukup. Pernyataan ini akrab di telinga saya dibandingkan pernyataan mengkritisi saja kadang tidak perlu. Ya, mengkritisi saja memang kadang tidak cukup bahkan kadang tidak diperlukan.

Baru saja seorang kakak saya menunjukkan salah satu komentar di Facebook yang menimbulkan perasaan miris saat saya baca. Status yang dikomentari adalah status dari salah satu paman saya, demikian: “Mengapa byk org yg ribut soal tambang? Padahal dijari manisnya ada cincin emas? Dileherx ada rantai emas? Bahkan pake hp mahal, mobil mahal?”. Komentar pertama sekligus yang membuat saya miris adalah: “Kasian betul, sarjana koq goblokx minta ampun, masa tdk mengerti sdikitpun substansi dr kenapa tambang dipersoalkan? Di kepalax pasti hanya daging beku smua, tdk ada sama skali bagian otak yg encer sdikit, ckckck…”. Untungnya pada komentar selanjutnya si pemberi komentar sempat menyampaikan permintaan maaf, walaupun perdebatan terus berlanjut.

Andai saja si pemberi komentar meluangkan waktu sedikit lebih banyak untuk berpikir sebelum berkomentar, komentar miris itu mungkin tak akan muncul. Permintaan maaf dalam komentar selanjutnya menunjukkan adanya rasa penyesalan yang selalu terlambat itu. Permintaan maaf pun menunjukkan bahwa si pemberi komentar menyadari kesalahannya. Komentar seperti itu bagi banyak orang, termasuk saya, tidak mudah untuk dilupakan dan jelas bahwa permintaan maaf tidak akan serta merta menghapus rasa sakit hati yang muncul saat diberikan penghinaan seperti itu.

Sebagai masyarakat Sumba Tengah, pun tampak jelas dari perdebatan mereka selanjutnya bahwa Sumba Tengah yang lebih baik adalah cita-cita mereka, pun saya. Namun cita-cita itu tidak akan dicapai hanya melalui kerja keras kepala daerah saja, atau para PNS saja, atau para petani saja, atau para pengkritisi saja. Perpaduan yang selaras antara semua pihak yang memiliki cita-cita yang sama adalah satu-satunya kunci untuk menggapai cita-cita bersama tersebut. Namun perpaduan yang selaras tak akan tercipta apabila ada benang kusut antara komponen-komponen tersebut belum diperbaiki. Tidak ada salahnya saling mempertanyakan kinerja pihak yang satu terhadap yang lain. Justru ‘mempertanyakan’ itulah yang diharapkan dapat berujung pada perpaduan yang selaras. Artinya bahwa ketika kita bertanya (dengan tepat) lalu dijawab (dengan tepat) maka akan ada saling tahu, saling mengerti, dan saling membantu. Namun ketika ‘mempertanyakan’ sudah tidak lagi dimotivasi oleh cita-cita perpaduan yang selaras maka saling ‘mempertanyakan’ akan berubah menjadi saling ‘menjatuhkan’. Benang yang kusutpun akan semakin kusut, dan perpaduan yang selaras akan terus menjadi cita-cita yang tak tergapai. Daripada saling menjatuhkan, bukankah lebih baik saling memperbaiki? Berdebat untuk menang walaupun salah adalah tujuan berdebat dalam suatu kompetisi debat. Berdebat untuk memenangkan yang benar adalah tujuan dari perdebatan untuk membangun Sumba Tengah. Mengkritisi kinerja pemerintah daerah belum maksimal tidak salah, namun akan lebih baik apabila kritikan itu disertai dengan data/fakta yang kuat, disampaikan dengan cara yang benar, dan lagi-lagi dimotivasi oleh cita-cita bersama untuk kemajuan Sumba Tengah. Sebagai tambahan, akan lebih bermanfaat apabila ada saran riil bagi perbaikan kinerja pemerintah daerah yang dikritisi tersebut. Daripada mendengar makian yang diteriakkan oleh orang-orang tak dikenal, bukankah kita lebih suka mendengarkan kritikan dan saran dari teman yang jelas-jelas mengasihi kita? Begitupun pemerintah daerah menurut saya.

Pelajaran dari kasus ini untuk saya adalah berhati-hatilah saat ingin memberikan kritikan, tidak perlu mengkritik apabila motivasi untuk mengkritik adalah menjatuhkan. Kritikan menjatuhkan tidak akan berujung pada hal yang positif, justru sebaliknya.

Apalagi dalam kasus pembangunan Sumba Tengah tercinta, kalau kita sibuk mengkritisi untuk menjatuhkan, kapan kita akan mulai mengkritisi untuk saling memperbaiki? Kapan benang-benang kusut itu akan mulai diluruskan jika kita sibuk membuatnya semakin kusut?

Mar 1, 2012

God is Testing Us

Barusan baca status teman cewek saya yang cantik luar dalam, isinya kutipan: " RT @funnyorfact: When I see stupid statuses on Facebook I try my hardest not to make rude sarcastic comments, because I know the Lord is testing me."

Kata orang Kupang "natok di beta" alias status ini tepat sekali untuk mendeskripsikan saya di saat itu. Bagaimana tidak hari ini, dalam jangka waktu beberapa jam dua orang teman facebook saya dengan ciri khas mengkritiknya seolah menggelitik saya untuk menciptakan status kritikan bagi mereka dengan harapan cukup 'natok' di hati mereka.

Sejujurnya saya bukan tipe orang yang suka mengkritisi hal-hal sepele seperti ini, tapi entahlah hari ini kok rasanya akumulasi dari yang sepele-sepele itu meluap. Yang sepele itu: "ngapain sih berlomba-lomba pake BB, HP itu yang penting bisa pake komunikasi cukup". Beberapa minggu setelah status ini muncul status baru yang biasanya via mobile menjadi via blackberry. Status "tidak penting penilaian orang, asalkan kita tetap jadi diri sendiri" diikuti oleh status "sepertinya saya harus potong rambut, kata si ... rambut panjang ga cocok buat saya" beberapa saat setelahnya. Next "mbak, ngomongnya biasa aja, ga usah teriak" menjadi "suka-suka saya dong mau teriak-teriak, mulut mulut saya". Lebih miris lagi yang statusnya "Terima kasih Tuhan untuk berkatMu" beberapa hari kemudian menjadi status penuh makian hanya karena masalah kecil seperti kehujanan.

Sebelum sayapun menciptakan status kritikan bagi para pencipta status-status sepele nan menggelitik di atas, saya bersyukur sekali sudah lebih dulu diingatkan: God is testing me. Terima kasih nona manis Rita Rehy untuk status kutipan ini. Percaya atau tidak, seketika itu juga saat membaca kutipan itu gelitikan tadi tidak terasa lagi. Jadilah bukan status sarkastik atau kritikan halus yang keluar melainkan status manis: "hey cantik". God, how's my point now?

Catatan: in the end saya merasa aneh dengan emosi saya yang tiba-tiba labil seperti tadi. LOL..

Feb 13, 2012

Chauvinisme Religius

Menemani saya di masa-masa penangguran tak jelas ini, buku-buku rohani mama adalah yang paling setia. Sungguh saya membenarkan kutipan berikut: " The more you know, the more you realise how much you don't know - the less you know, the more you think you know." Lewat buku-buku luar biasa ini saya disadarkan bahwa ada begitu banyak hal yang tidak saya ketahui selama ini, dan di sisi lain juga sering saya merasa sangat tahu tentang banyak hal tersebut. Thanks to mama dan buku-buku luar biasa ini, sungguh saya bersyukur.

Bab 10 dari Buku berjudul Selamat Berkarunia karya Andar Iskandar membahas mengenai Chauvinisme Religius. Bab ini menggambarkan bagaimana sikap fanatik sejak dahulupun sudah ada. Bahkan ketika Yesus mengajarkan mengenai kemajemukan, oleh kaumNya sendiri orang-orang Nazaret, Ia hampir dilemparkan ke tebing. Apa yang selama ini tertanam di otak saya bahwa memahami dan menerima perbedaan masih merupakan hal yang sulit bagi kebanyakan orang, semakin dikuatkan. Chauvinisme religius adalah konsep yang menjelaskan bagaimana tidak menerima adanya perbedaan dalam hal agama atau kepercayaan khususnya, melekat sangat kuat pada orang-orang Nazaret di jaman Yesus dan tidak terelakkan juga di jaman sekarang. Andar Ismail menyimpulkan sikap Chavinisme Religius tersebut demikian: "Allah merestui agamaku, bukan agamamu! Agamaku benar, agamamu salah! Agamaku berhak ada, agamamu tidak!"

Sejujurnya menurut saya keadaan seperti ini menyedihkan. Menyedihkan bahwa orang-orang yang mengaku beragama, yang dikasihi dengan luar biasa oleh Tuhan pilah pilih dalam mengasihi. Tuhan tidak pernah menyatakan bahwa Ia hanya mengasihi orang Israel dan membenci orang Samaria; pun tidak Ia katakan bahwa Ia memberkati orang Kristen dan menomorduakan orang Hindu; orang-orang yang setiap hari Minggu ke gereja maupun yang tak pernah masuk gereja memperoleh kasih yang sama besar dariNya. Lalu kenapa kita yang begitu dikasihiNya begitu pelit untuk membagikan kasih cuma-cuma itu bagi orang lain?

Beberapa minggu yang lalu saya dengan seorang saudara saya berbincang-bincang mengenai Angelina Sondakh. Ketika itu (dan hingga saat ini) kasus Angelina Sondakh yang telah dijadikan tersangka kasus korupsi banyak dibahas di berbagai media. Saudara saya mengatakan demikian: "Sonde (tidak) apa-apa, itu pelajaran bagi Angelina Sondakh karena dia telah meninggalkan Yesus". Yang dimaksud dengan meninggalkan Yesus adalah berpindah agama. Kala itu kami perbincangan kami penuh canda tawa, karena saudara saya yang satu ini memang pandai dalam bergaul dan tak pernah kehabisan bahan obrolan. Tambahan: saudara saya ini sangat cantik, bahkan wanita keturunan Sumba yang tercantik yang pernah saya kenal. Kesalahan saya saat itu adalah tidak memberikan tanggapan sekaligus pemahaman saya mengenai kemajemukan, bahwa Yesus tidak sedang memberikan pelajaran pada Angelina Sondakh karena telah berpindah agama. Tampaknya akan sangat panjang dan mengarahkan obrolan dari yang ringan menjadi cukup serius.

Untuk itu dalam tulisan ini akan saya jelaskan pendapat yang tak tersampaikan saat itu, bahwa kasih Tuhan tidak berubah pada setiap manusia. Tuhan sendiri menyatakan hukum kasih yang terutama adalah mengasihi Tuhan, dan mengasihi sesama. Bahkan Ia memerintahkan kita untuk mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Jangan lupa, ini hukum yang pertama dan yang terutama: kasih. Mengasihi sesama seperti mengasihi diri kita sendiri seringkali kita serap secara setengah-setengah. Kita mengasihi orang tua kita, mengasihi saudara kita, teman-teman kita, tapi tidak musuh kita. Kita mengasihi orang-orang sesuku, sehingga ketika terjadi perselisihan antara seorang kerabat sesuku dengan orang dari suku lain maka dengan segera kita akan membela kerabat kita atas nama kasih. Kita mengasihi sesama kita yang seagama, maka orang-orang dari agama lain adalah orang-orang yang tidak layak dikasihi, bahkan seharusnya dimusuhi. Seperti inikah kasih kita kepada sesama? Mari belajar terbuka, belajar memahami kemajemukan, menerima adanya perbedaa, karena pada dasarnya Tuhan menciptakan setiap orang secara berbeda, tidak ada satu orang pun yang sama persisnya. Tergantung kita sejauh mana kita mau menerima perbedaan itu. Apabila kita memutuskan untuk menetapkan toleransi perbedaan dengan rendah maka akan sulit bagi kita untuk bersosialisasi. Contohnya dalam hal umur, perbedaan yang umum: kita memilih untuk bergaul dan meluangkan banyak waktu untuk berbincang-bincang, bersosialisasi dengan teman-teman sebaya kita (misalnya teman sekolah dan teman kuliah), namun kemudian bersungut-sungut ketika berada di antara sekumpulan orang tua dalam sebuah acara. Begitupun di kalangan orang tua, seringkali anak-anak dianggap tidak tahu apa-apa sehingga ketika berpendapat lebih sering pendapat tersebut tidak ditanggapi secara serius walaupun didengarkan. Kemudian, pada pihak manakah kasih Tuhan lebih tercurah? kepada orang yang lebih tua ataukah pada orang yang lebih muda? Nah kembali ke Angelina Sondakh, hal yang sama saya yakini berlaku baginya. Berpindah agama tidak membuat kasih Tuhan berkurang padanya. Tuhan itu satu, hanya saja cara kita dalam menyembahNya yang berbeda.

Yang saya herankan adalah apa salahnya berbeda? Berbeda sama sekali tidak mengganggu saya. Andai ada sejuta orang dengan kepercayaannya masing-masing lalu apa salahnya? Sungguh saya tak dapat menemukan apa salah dari kemajemukan? Bukankah lebih indah jika dalam satu taman terdapat bunga dengan beragam warna dibandingkan satu warna saja?

Feb 9, 2012

lesson from mama


Mama adalah seorang Kristen yang imannya pada Tuhan tidak pernah saya ragukan sedikitpun. Beliau adalah satu wanita terkuat yang saya kenal. Dalam seminggu beliau dengan seorang ibu tua yang biasa kami sapa Oma Ros meluangkan waktu dua atau tiga hari untuk berdoa bersama di kamar mama. Setiap dilanda suatu hal yang buruk, beliau selalu mengatakan pada saya ‘saya tidak pernah khawatir karena saya yakin Tuhan beserta saya’.

Namun belakangan ini ada suatu kecenderungan yang sedikit mengganggu saya dari mama. Dalam situasi yang kurang baik bahkan buruk, seperti biasa beliau akan menyatakan imannya pada Tuhan tanpa gentar sedikitpun. Namun setelah pernyataan itu ada penjelasan lanjutan yang menurut pandangan saya, seolah-olah menyalahkan orang lain atas keadaan tersebut. Sepertinya mama masih sangat percaya pada jampi-jampi dan sejenisnya yang oleh orang NTT, kami sebut ‘obat’. Jadi misalnya mama sakit, beliau mulai mengaitkannya dengan hal-hal yang terjadi pada keluarga kami kemudian menyatakan bahwa ada orang yang tidak suka akan hal tersebut lalu ‘menjampi-jampi’ mama. Lalu sekali lagi menyatakan bahwa beliau tidak sedikitpun gentar akan jampi-jampi atau ‘obat’ itu, karena iblis akan dikalahkan oleh Tuhan. Saya melihat adanya kecenderungan untuk melihat suatu keadaan kurang baik sebagai hasil perbuatan orang lain.

Dua hal utama yang mendasari saya pada akhirnya menyatakan pendapat saya yang berbeda pada mama. Yang pertama, suatu hal buruk yang terjadi pada kita, sebaiknya kita lihat sebagai akibat rasional dari tindakan kita sebelumnya. Dengan kata lain, alangkah baiknya jika kita mengoreksi lebih dahulu apa yang kita lakukan sebelum suatu hal buruk kemudian menarik suatu benang logis yang menghubungkannya. Untuk hal-hal baik yang terjadi pada diri kita sendiri hampir selalu kita mengklaim diri kita sebagai sebab dari hal baik tersebut, kenapa untuk hal yang buruk kita tidak sempat untuk berpikir demikian (terlebih dahulu)? Dasar yang kedua adalah: ‘tidakkah kita menambah dosa kita dengan menduga-duga orang lain sebagai sebab dari kesusahan yang kita alami?’ Terlepas dari apakah pada akhirnya dugaan itu terbukti benar atau salah, menduga orang lain bersalah atas kesusahan kita secara tidak langsung menanamkan hal negatif dari orang tersebut di dalam otak kita. Prasangka negatif terhadap seseorang menurut saya akan mempengaruhi sikap kita terhadap orang tersebut yang akan cenderung tidak tulus.

Entah seperti apa besok dan seterusnya ketika kesusahan datang setelah perbincangan saya dengan mama, saya berharap mama, saya, dan kita semua tidak serta-merta mengklaim orang lain sebagai sebab. Mama menjadi pengingat bagi saya sendiri bahwa memang lebih mudah untuk menyalahkan orang lain atas suatu hal buruk. Tapi bukan berarti saya menyalahkan mama atas kebiasaan mama ini. Beliau hanya belum menyadari bahwa hal tersebut keliru, seperti juga saya sebelumnya. Kita diperintah Tuhan supaya ‘menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus’ (Filipi 2:5). Saya tidak berpikir Yesus menyalahkan orang lain atas hal-hal yang terjadi pada diriNya, bahkan pada saat Ia disalibkan. Saya teringat istilah WWJD (What Would Jesus Do), lalu berpikir jika saya ‘menjadi’ Yesus, menghadapi kesusahan tentu saya tidak akan serta merta menyalahkan orang lain atas kesusahan tersebut. Mari berefleksi, mari mengoreksi diri, mari belajar.. :)

Jan 23, 2012

Not an Ad..


For the last two weeks I spent much of my time to read one of the most inspiring book: Chicken Soup for The Soul. I used to read some series of it when I was on Junior High School, it's about ten years go. And in this periode of time I call it self-transition periode, I went to Gramedia, wished to find some books about self improvement. I went straight to self improvement part in Gramedia and found nothing. Then I walked to the best seller part and found this ten-years-forgotten book. Spent some minutes to read its table of contents, I decided to buy it.

One most important point I learn from this amazing book is that what's on your mind controls every act of u. It's just that simple (my conclusion in the end of reading this book). Things are good, bad; this is the worst weather ever or the best; you can do something or not; you decide it! At the beginning I thought it cannot be that simple. How can I think that I can be a 'person' in the future while I was on my self-transition period and I was a labile person. People on this book took control of their life just because in the end they decided to take control of it. I simplify the path: control your mind (as positive as you can) --> convincing yourself --> start to act!

I am trying to put this path on my daily life which I believe will make me a happier person even the happiest one. Even this is simple, it doesn't make it easy for all of us. You know, when you can take control of your mind, you can decide that it is simple and easy. This is something that some people may not understand easily (especially with my short subjective explanation up there :D ). Just buy or borrow the book and you'll find what I mean..